Mimpi Itu Tak Butuh Gedung Mewah

 

Kompas.tv, Kami melangkah masuk ke sebuah ruang kecil beratap seng, berdinding papan, dan berlantai tanah. Tak ada pendingin ruangan, tak ada proyektor digital, bahkan papan tulis pun sudah mulai buram. Tapi dari tempat sederhana inilah kami dengar suara-suara kecil yang begitu jernih: anak-anak yang menyebut cita-cita mereka dengan lantang — menjadi guru, dokter, petani yang bisa bantu orang tuanya. Mereka bicara dengan keyakinan yang tak gentar meski atap bocor dan meja reyot.

 

Guru-Guru yang Mengajar dengan Hati

 

Di tengah keterbatasan, kami bertemu para guru yang tak pernah menyerah. Mereka berjalan kaki menembus hutan, menyeberang sungai, dan tetap berdiri di depan kelas meski tak selalu digaji tepat waktu. Mereka mengajar bukan karena gaji, tapi karena percaya: satu huruf yang mereka tanam hari ini bisa tumbuh menjadi masa depan yang lebih baik untuk anak-anak itu.

 

Lantai Tanah, Tapi Akar Mimpi Menancap Dalam

 

Lantai sekolah itu memang masih tanah, tapi mimpi para siswanya justru tumbuh lebih kokoh dari banyak anak di kota besar. Mereka tahu jalan menuju impian tidak mudah, tapi mereka juga tahu bahwa belajar adalah satu-satunya jalan yang mereka punya. Dan kami menyadari: tempat ini, meski tak masuk dalam brosur prestasi pendidikan, menyimpan kekuatan yang jarang ditemukan — ketekunan tanpa pamrih, harapan tanpa sorotan.

 

Kami Tak Hanya Melihat, Kami Mendengar

 

Kami tidak datang untuk menilai fasilitas. Kami datang untuk mendengarkan isi hati mereka yang belajar tanpa mengeluh. Karena dari sekolah yang lantainya masih tanah itu, kami belajar ulang apa arti pendidikan yang sebenarnya: bukan sekadar gedung tinggi, tapi ruang di mana harapan tumbuh, dan mimpi bisa hidup — meski dalam keterbatasan. Dan tugas kami adalah menyampaikannya, agar dunia tahu bahwa negeri ini masih punya masa depan yang gigih memperjuangkan dirinya sendiri.